UNS — Menjelang Lebaran, masyarakat di Indonesia acap kali berbondong-bondong membeli baju baru. Perilaku ini sudah menjadi bagian tradisi Lebaran di Indonesia. Meski demikian, tradisi ini diam-diam membawa ancaman bagi lingkungan.
Baju baru di hari raya merupakan salah satu simbol kemenangan yang dimaknai masyarakat Indonesia. Hal inilah yang mendorong masyarakat membeli baju-baju baru menjelang Lebaran. Tidak hanya baju, masyarakat juga membeli mukena dan sarung untuk dikenakan saat Lebaran.
Peningkatan pembelian pakaian ini tentu menghadirkan keuntungan yang besar bagi pedagang. Omzet yang didapatkan para pedagang baju di saat-saat seperti ini dapat meningkat hingga dua kali lipat. Sayang, hal itu justru berpotensi untuk merugikan lingkungan.
Saat permintaan baju meningkat, unit produksi yang ada di hulu akan menggunakan sumber daya bahan baku yang lebih banyak. Hal itu akan mendatangkan ancaman yakni peningkatan produksi limbah tekstil.
Sementara itu, di bagian hilir atau unit penjualan akan mengalami limpahan baju bekas yang banyak. Baju-baju bekas tersebut membutuhkan perawatan ekstra untuk dapat dijual kembali. Perawatan ekstra ini dapat berupa pencucian yang membutuhkan detergen yang cukup banyak. Ancaman-ancaman tersebut dapat meningkatkan produksi limbah fesyen di lingkungan.
Pakar lingkungan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Dr. Prabang Setyono, M.Si. menanggapi fenomena ini. Menurut Prof. Prabang budaya simbolik baju Lebaran memiliki makna positif. Namun, dalam praktiknya harus diimbangi dengan sikap bijak berpakaian.
“Budaya tersebut sebenarnya pemaknaan simboliknya bagus, hanya pemaknaan secara fisiknya tidak harus dengan baju baru tapi baju yang bagus yang sudah tersimpan lama tapi belum dipakai atau jarang dipakai saja,” ujar Prof. Prabang, Sabtu (30/4/2022).
Apa yang Bisa Dilakukan jika Sudah Telanjur Membeli Baju Baru?
Bagi masyarakat yang sudah telanjur membeli baju baru, Prof. Prabang memberikan beberapa solusi yang dapat dilakukan. Guru besar bidang ilmu pencemaran lingkungan ini menyarankan masyarakat untuk menggunakan sistem sirkuler baju layak pakai. Sistem ini dapat dipahami sebagai penyaluran baju-baju yang dianggap sudah kekecilan atau tidak tren tapi masih bisa dipakai kepada masyarakat yang membutuhkan. Alih-alih membuang, sistem sirkuler penyaluran ini tidak akan menimbulkan limbah bahan tekstil dari baju tersebut.
“Bagi yang sudah membeli pakaian maka baju yang dianggap sudah tidak tren atau sudah tidak dipakai harus disalurkan ke suatu unit usaha atau tempat penampungan baju layak pakai untuk didistribusikan ke masyarakat pengguna lain agar penggunaannya berkelanjutan atau sustainable ,” imbuh Kepala Program Studi S1 Ilmu Lingkungan UNS ini.
Sementara itu, baju-baju yang sudah tidak layak pakai dan harus menjadi sampah dapat diberlakukan sistem sirkuler ekonomi. Baju-baju tersebut dapat dijual kepada produsen dengan produk yang memanfaatkan limbah baju. Potongan-potongan baju dapat diubah menjadi bahan fillet atau pengisi properti rumah tangga seperti kursi sofa dan bantalan.
Sesuai dengan lagu anak-anak “Baju Baru” di era 90-an, Lebaran tidak harus dirayakan dengan baju baru, tetapi kesucian hati menyambut kemenangan yang hakiki. Baju baru Alhamdulillah. ‘Tuk dipakai di hari raya. Tak punya pun tak apa-apa. Masih ada baju yang lama. Humas UNS
Reporter: Ida Fitriyah
Editor: Dwi Hastuti