UNS — Penelitian terbaru di Indonesia mengungkapkan bahwa Pemerintah Indonesia perlu memperkuat langkah untuk memastikan keamanan kerja, metode, dan keterlibatan personel apotek dalam upaya menanggapi pandemi di masa depan.
Peneliti dari Indonesia, Australia, dan Inggris melakukan wawancara terhadap apoteker dan tenaga teknis kefarmasian untuk menggali pengalaman, keamanan kerja, dan sikap mereka selama pandemi Covid-19 di Indonesia. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang mencatat lebih dari enam juta kasus dan 150.000 kematian akibat Covid-19. Hasil penelitian dipublikasikan pada Jumat (1/7/2022) di PLOS Global Public Health.
Pada banyak negara, apotek komunitas biasanya menjadi tujuan pertama sebagai penghubung antara pasien dan sistem kesehatan, terutama yang memiliki keterbatasan layanan kesehatan.
Hal tersebut dijelaskan oleh salah satu peneliti utama Protecting Indonesia from the Threat of Antibiotic Resistance (PINTAR), Prof. Ari Natalia Probandari yang merupakan Guru Besar dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
“Studi ini menekankan betapa pentingnya apotek komunitas yang merupakan penyedia layanan kesehatan pertama. Artinya, ketika masyarakat mengalami gangguan kesehatan justru memiliki kebiasaan melakukan kontak pertama dengan datang ke apotek,” tutur Prof. Ari, Rabu (20/7/2022).
Ia juga menambahkan bahwa adanya pembatasan aktivitas di masa pandemi membuat peran apotek semakin menonjol. Oleh karena itu, dari studi ini, Prof. Ari mengatakan bahwa pentingnya dukungan dan peningkatan peran yang diberikan kepada apoteker. Misal, panduan-panduan untuk mereka bisa mengedukasi masyarakat secara luas, terutama dalam penggunaan antibiotik selama pandemi yang memang meningkat.
Covid-19 telah menyadarkan masyarakat mengenai peran penting apotek komunitas di dalam sistem kesehatan, terutama karena banyak Puskesmas yang terpaksa tutup akibat tingginya jumlah tenaga kesehatan yang terpapar Covid-19. Pada awal pandemi, pemerintah Indonesia mendesak apotek untuk tetap buka dan memastikan akses obat-obatan dan alat pelindung diri (APD) tercukupi, menyebarluaskan informasi tentang Covid-19, dan merujuk pasien ke fasilitas kesehatan yang memadai.
Selain jumlah apotek komunitas yang banyak, gerai ritel obat swasta juga menjamur di Indonesia. Namun, penelitian ini hanya berfokus pada apotek yang memiliki izin.
Memberikan Saran Kesehatan dan Mengkampanyekan Penggunaan Antibiotik yang Tepat
Sebagian besar apoteker tertarik untuk menerima informasi terbaru secara berkala mengenai Covid-19. Hal ini menjadikan Kementerian Kesehatan RI, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, dan Ikatan Apoteker Indonesia sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya. Sebaliknya, beberapa apoteker khawatir apabila menerima informasi yang disebarkan melalui media sosial karena bisa jadi salah atau tidak akurat.
“Temuan lain dari penelitian ini yang mengkhawatirkan adalah meningkatnya permintaan antibiotik yang drastis meskipun antibiotik tidak direkomendasikan untuk penanganan Covid-19,” jelas dr. Marco Liverani dari London School of Hygiene & Tropical Medicine, salah satu peneliti utama PINTAR.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan resistensi antimikroba. Menurut salah satu peneliti utama PINTAR, yaitu Prof. Tri Wibawa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, diprediksi pada tahun 2050 jumlah orang yang terkena resistensi antibiotik akan sangat tinggi.
“Saat ini kematian akibat resistensi antimikroba sudah mencapai 700 ribu orang per tahun dan diprediksi di tahun 2050 bisa mencapai 10 juta orang per tahun di seluruh dunia. Hal itu menunjukkan resistensi mikroba terhadap antibiotik menjadi ancaman yang jelas di depan mata,” jelasnya.
Oleh karena itu, pemerintah harus menerapkan langkah-langkah atau aturan tambahan untuk memantau penggunaan antibiotik. Selain itu juga pemerintah harus meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menggunakan antibiotik secara tepat selama pandemi serta dalam keadaan kedaruratan di masa depan.
Penelitian ini merupakan bagian dari Protecting Indonesia from the Threat of Antibiotic Resistance (PINTAR) yang bertujuan untuk meningkatkan pemberian antibiotik secara rasional di masyarakat dan memerangi penyebaran resistensi antimikroba. Penelitian PINTAR dipimpin oleh Kirby Institute of Australia’s University of New South Wales (UNSW) yang bekerja sama dengan UGM, UNS, Kementerian Kesehatan RI, London School of Hygiene & Tropical Medicine and the University College London di Inggris, dan The George Institute for Global Health di UNSW Sydney.
Studi ini didukung oleh hibah dari Indo-Pacific Centre for Health Security (DFAT) di bawah Australian Government’s Health Security Initiative. Humas UNS
Reporter: Bayu Aji Prasetya
Editor: Dwi Hastuti