UNS — Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur meletus pada Sabtu (5/12/2021) lalu. Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, Gunung Semeru tiba-tiba erupsi dan meluluhlantakkan wilayah sekitar. Tidak hanya mengakibatkan korban jiwa dan material, letusan Gunung Semeru juga memicu peningkatan aktivitas gunung api lainnya.
Gunung Semeru sebenarnya baru berstatus Waspada (Level II) saat meletus kemarin. Berdasarkan laporan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), ada tiga gunung berapi lainnya yang berlevel lebih tinggi dari Semeru yakni Gunung Merapi, Gunung Sinabung, dan Gunung Ili Lewotolok. Ketiga gunung tersebut berstatus Siaga (Level III). Aktivitas ketiga gunung tersebut juga meningkat menyusul letusan Semeru.
Kepala Pusat Studi Bencana (PSB) LPPM Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Dr. Chatarina Muryani, M.Si. mengatakan bahwa hal tersebut merupakan suatu yang lumrah. Letusan satu gunung api dapat memicu peningkatan aktivitas gunung api di sekitarnya.
“Biasanya memang kalau ada aktivitas gunung api, nanti yang berdekatan atau yang satu jalur juga ada peningkatan aktivitas,” ujar Prof. Chatarina.
Menurut Prof. Chatarina, hal itu berkait erat dengan posisi Indonesia yang berada di pertemuan lempeng tektonik aktif. Tumbukan antarlempeng tektonik dapat menimbulkan aktivitas vulkanisme. Hal itulah yang menyebabkan Indonesia memiliki banyak gunung api dan sering dijuluki Ring of Fire.
Gunung-gunung api yang terletak dalam satu lempeng sangat memungkinkan saling mempengaruhi. Karena itulah, jika satu gunung api mengalami aktivitas, gunung api yang berdekatan atau masih satu jalur mengalami peningkatan aktivitas. Inilah yang perlu diwaspadai masyarakat, terlebih lagi letusan Semeru kemarin tidak didahului tanda-tanda tertentu.
“Banyak teori mengapa Semeru tiba-tiba meletus tanpa ada tanda-tanda. Itu bisa disebabkan curah hujan yang tinggi sehingga kawah runtuh dan menyebabkan letusan. Namun, letusan Semeru kemarin sebenarnya kategori kecil karena volume yang dimuntahkan kecil. Tapi, ini tetap harus diwaspadai oleh semua daerah yang memiliki gunung api,” imbuh Prof. Chatarina.
Lebih lanjut, guru besar Program Studi Pendidikan Geografi UNS tersebut mengimbau agar kabupaten-kabupaten yang dekat dengan gunung api harus memiliki kontinjensi. Setiap kabupaten yang memiliki gunung api harus memiliki kesiapsiagaan darurat agar jika sewaktu-waktu terjadi letusan dapat segera mengevakuasi warga.
Selain itu, pemerintah setempat juga diimbau untuk lebih mensosialisasikan alur tanggap bencana jika terjadi letusan, misalkan bagaimana prosedur yang harus dilakukan saat terjadi letusan, daerah mana yang ditunjuk sebagai posko evakuasi, dan sebagainya. Hal ini harus terus disosialisasikan kepada warga yang berada di wilayah rawan bencana. Pemerintah setempat dan institusi terkait juga diimbau untuk lebih mensosialisasikan dan memfungsikan Early Warning System (EWS) bencana.
Saat ini, PSB UNS akan melakukan kajian letusan Gunung Semeru dengan melihat citra satelit. Tim PSB juga akan mengkaji daerah mana saja yang tertutup lahar dan relevansi kawasan rawan bencana setelah terjadi letusan kemarin. Hasil analisis tersebut akan disampaikan kepada pemerintah sebagai masukan.
“Kami akan melakukan kajian berdasarkan citra letusan kemarin. Kami juga akan melihat peta kawasan rawan bencana dan dampak erupsi kemarin. Jika kawasan rawan bencana perlu direvisi, kami akan memberikan masukan kepada pemerintah,” pungkas Prof. Chatarina. Humas UNS
Reporter: Ida Fitriyah
Editor: Dwi Hastuti